PEMBAHASAN LENGKAP TENTANG WASIAT WAJIBAH

 



PENGERTIAN WASIAT WAJIBAH

Secara formal, tidak ada definisi mengenai wasiat wajibah dalam sistem hukum Islam di Indonesia. 

Bismar siregar mengungkapkan bahwa wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara‟. 

Eman Suparman dalam bukunya menjelaskan bahwa wasiat wajibah adalah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 

Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat. 

Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh negara. 

Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi satu pertiga dari harta peninggalan pewaris. 

Wasiat wajibah dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya.


WASIAT WAJIBAH dan HAK WARIS ANAK ADOPSI

Al Qur'an tidak memberi hak bagi anak adopsi untuk menerima warisan dari orang tua angkatnya, namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan produk ulama dari berbagai madzhab dan dijadikan salah satu sumber rujukan hukum di negara Indonesia memberikan ketentuan bahwa anak angkat berhak menerima bagian warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai berikut:  

  • Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya.
  • Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orangtua angkatnya.


Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat istiadat masyarakat orang Islam di Indonesia dan telah merambah dalam praktik ke lembaga Peradilan Agama. Di beberapa tempat atau provinsi seperti di Kabupaten Bantul Jawa Tengah, Sulawesi, Yogyakarta, Semarang, Ungaran, dan juga daerah Jateng di daerah Kendal telah banyak dilakukan, dan Pengadilan Agama telah memberikan penetapan yang sekaligus dipandang sebagai yurisprudensi tetap tentang adopsi  anak di kalangan hakim Peradilan Agama. 

Al Qur'an sebagaimana tertera dalam Surat Al Ahzab dalam ayat ke 4 dan 5:

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (٤)ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥)

Artinya : 

Allah tidak menjadikan bagi seorang dua buah hati dalam rongganya, Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar sebagai ibumu. dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu adalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (4)

Pangillah mereka (anak-anak angkatmu itu) dengan (mernakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang. (5)


CONTOH PERKARA WASIAT WAJIBAH

Kasus - 1

Inti persoalan dari kasus ini adalah bahwa anak angkat tidak memiliki dan tidak mendapat wasiat wajibah secara tertulis dari keluarga yang membesarkannya sampai akhirnya harta tersebut diwakafkan ke sebuah lembaga keagamaan dan mendapat keputusan hukum dari Mahkamah Agung. Sementara anak angkat tersebut, dalam perjalanannya, menggugat keputusan Mahkamah Agung tersebut. 


Kasus Posisi :

Penggugat yang bernama Wakini, yang mana sejak lahir tidak dibesarkan oleh orang tua aslinya. Tetapi ia dibesarkan layaknya anak kandung sendiri  hingga Wakini menikah.

Wakini tinggal bersama keluarga H.Mustofa dan Hj.Fatimah di Dukuh Bodosari Desa Tunjungtirto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang Jawa Timur hingga ia dinikahkan. Setelah berkeluarga, Wakini tinggal di Kecamatan lain terpisah dari orang tua angkatnya. Ketika H.Mustofa meninggal pada tahun 1983, Hj Fatimah harus mengurus harta seorang diri.

Pada saat Hj Fatimah sakit keras dan kritis, salah satu tetangganya, Nur Yasin, yang selanjutnya menjadi tergugat, membawa Hj Fatimah untuk tinggal di kediamannya, yang tidak jauh dari rumah Hj Fatimah. Menurut Yasin, tindakan itu semata-mata untuk kemanusiaan dan untuk memudahkan menolong Hj Fatimah yang sedang sakit kritis. Yasin merasa berkewajiban untuk bantu Hj. Fatimah, bagaimanapun dianggapnya untuk membalas budi baik H.Mustofa yang penah membiayai sekolahnya dahulu. Tindakan Yasin ini, membuat Wakini tersinggung karena ia tidak merasa diberitahu soal kepindahan ibu angkatnya ke rumah Yasin. Bahkan ketika Hj Fatimah sakit keras,Yasin membuat ‘surat pernyataan’ penyerahan hak milik dengan sepenuhnya tertanda cap jempol Hj Fatimah. Surat ini berkonten pernyataan Hj Fatimah pada Yasin untuk mewakafkan/menginfakkan harta yang ditinggalkannya  kepada Lembaga Agama Islam di Singosari Malang untuk menegakkan dan memakmurkan Islam. 

Namun, sejak Hj. Fatimah meninggal pada tahun 1986, harta milik almarhum dikuasai oleh Yasin dan disewakannya. Wakini selaku anak adopsinya sudah berupaya untuk meraih haknya, tetapi upaya-upaya Wakini selalu gagal, dengan dalih Hj. Fatimah telah mewakafkan peninggalannya itu dan alasannya Wakini bukan anak kandung. 

Harta peninggalan Hj Fatimah dan H Mustofa baru diserahkan Yasin kepada Majelis Nahdatul Ulama Cabang Singosari, Malang, pada tanggal 16 Februari 1993. 

Berdasarkan masalah di atas, terlihat jelas terjadi tarik menarik antara status hukum anak adopsi yang tidak mendapat wasiat dari keluarga yang membesarkannya serta ketentuan perundang-undangan yang memberikan ketentuan warisan kepada anak adopsi.

Menurut Mahkamah Agung dalam perkara tersebut di atas, Judex Facti salah menafsirkan wasiat dari almarhum Hj. Fatimah, dalam “Surat Pernyataan Penyerahan Hak Milik” adalah sah. Sedangkan menurut Mahkamah Agung Wasiat tersebut adalah tidak sah, dengan alasan sebagai berikut:

Dalam wasiat, tidak disebutkan secara tegas dan jelas kepada siapa badan/Lembaga apa yang akan diterima harta benda yang diwariskan.

Yang diwariskan meliputi seluruh harta benda milik Hj. Fatimah, sedangkan menurut hukum yang diperbolehkan untuk mewasiatkan hanya 1/3 bagian. Wasiat terhadap seluruh harta benda diperbolehkan jika ada persetujuan dari ahli waris.

Dengan alasan yuridis di atas, maka dapat disimpulakan bahwa surat wasiat dari Hj. Fatimah kepada Tergugat adalah tidak sah menurut hukum, karena seperti dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 196 yaitu dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa dan atau siapaa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.



KASUS - 2

Bahwa Almarhum Ardianto Lojaya pernah menikah dengan seorang perempuan bernama Fitriani Binti H. A. Muthalib (Turut Tergugat), dan mereka telah bercerai dengan Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor : 697/Pdt.G/2006/PA.Plg tanggal 21 Februari 2007 dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap; 

Bahwa ibu kandung Alm. Ardianto Lojaya (Turut Tergugat) bukan beragama Islam maka terhadap Turut Tergugat berlaku hak kewarisannya berdasarkan wasiat wajibah, hal ini berdasarkan Yurisprudensi MARI No.51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 dan No.368 K/1995 tanggal 16 Juli 1998.

Bahwa Ardianto Lojaya telah wafat pada hari Selasa tanggal 27 Maret 2012 di Rumah Sakit Charitas palembang; 

Bahwa sewaktu almarhum Adrianto Lojaya masih hidup telah dikaruniai 2 orang anak, yaitu : • Kristianto Wicaksana dan, • Isabela Putri; 

Bahwa setelah bercerai dengan isteri pertamanya (Fitriani Binti H. A. Muthalib), Ardianto Lojaya menikah dengan Tergugat (Vivin Lestari) maka dari itu Tergugat (Vivin Lestari) adalah isteri sah almarhum Ardianto Lojaya; 

Bahwa Ny. Tjhin Njoen Lan (Turut Tergugat) adalah ibu kandung dari Almarhum Ardianto Lojaya; 

Bahwa berdasarkan bukti-bukti tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat antara para Penggugat (anak), Tergugat (istri) serta Turut Tergugat (Ibu Kandung) adalah pihak yang memiliki hubungan hukum (legal standing) dengan pewaris, oleh karena itu para pihak dalam perkara ini adalah pihak yang benar; 

Bahwa sesuai bunyi Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Maka kedudukan para Penggugat dan Tergugat adalah ahli waris dari Ardianto Lojaya, oleh karena itu gugatan waris tersebut beralasan hukum dan dapat diterima.


Tentang Wasiat Wajibah 

Bahwa setelah meninggal dunia almarhum Ardianto Lojaya meninggalkan seorang ibu kandung (Turut Tergugat) bernama Tjhin Njoen lan yang beragama Kristen; 

Bahwa berdasarkan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, pada dasarnya Turut Tergugat (Tjhin Njoen lan) beragama Kristen / non muslim tidak berhak menjadi ahli waris dari anak kandungnya almarhum Ardianto Lojaya; 

Bahwa seorang anak diwajibkan untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah An Nisaa ayat 36 :  “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak."

Menimbang, bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua tidak membedakan apakah orant tua tersebut satu agama dengan kita ataukah tidak, karena kita tidak dapat memberi petunjuk kepada seseorang sesuai dengan keinginan kita sebagaimana Firman Allah SWT Surah Al Qashash ayat 56 : "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." 

Bahwa Tjhin Njoen Lan (Turut Tergugat) yang merupakan ibu kandung dari almarhum Ardiyanto Lojaya memiliki hubungan darah sebagai ibu dan anak, dalam salah satu asas hukum kewarisan dikenal dengan asas egaliter dimana kerabat karena hubungan darah yang memeluk agama selain Islam dapat diberikan bahagiannya berdasarkan wasiat wajibah maksimal 1/3 (sepertiga) bagian, dan tidak boleh melebihi bagian Ahli Waris yang sederajad dengannya, hal ini juga sejalan dengan Yurisprudensi MARI No.51 K/AG/1999 tanggal 28 September 1999 dan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.368 K/1995 tanggal 16 Juli 1998; 

Bahwa dengan berpedoman pada Al Qur’an Surat An Nisa ayat 8 yang menyebutkan : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.

Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim menetapkan Turut Tergugat mendapatkan bagian dari harta warisan almarhum Ardiyanto Lojaya berdasarkan wasiat wajibah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pledoi / Nota Pembelaan atas Dakwaan Pasal 374 KUHP

CONTOH MEMORI BANDING

Contoh Eksepsi & Jawaban Tergugat