PROSES HUKUM RIZKY BILLAR DIHENTIKAN

Apakah proses hukum bisa dihentikan dalam perkara KDRT,  jika si korban memaafkan si pelaku ?

Sebelum membahas pertanyaan tersebut di atas,  perlu diketahui bahwa hukum pidana membedakan jenis tindak pidana berdasarkan tata cara pemrosesannya. Dalam hal ini dikenal dua jenis delik, yaitu delik biasa dan delik aduan.

Dalam delik biasa, suatu perkara dapat diproses tanpa adanya laporan dari korban. Sementara delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila terdapat aduan dari  si korban.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pencabutan aduan yang berujung pada penghentian proses pemidaan hanya dapat terjadi terhadap tindak pidana yang masuk kategori delik aduan.

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sendiri telah memberikan batasan bagi pencabutan laporan atas delik aduan. Pasal 74 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.

 Lalu Pasal 75 KUHP menegaskan bahwa penarikan kembali pengaduan atas suatu delik hanya dapat dilakukan paling lambat tiga bulan setelah diajukan. Secara harfiah, apabila tenggat waktu tersebut telah terlampaui, maka pencabutan aduan tidak lagi dapat dilakukan.    

Akan tetapi ada sebuah preseden dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009 (hal. 13) yang memungkinkan pencabutan laporan atas delik aduan sekalipun batas waktu 3 bulan telah terlampaui. Hakim berpendapat bahwa perdamaian antara terlapor dan pelapor perlu dinilai tinggi, sehingga manfaat dari penghentian perkara dapat lebih besar daripada memilih melanjutkan perkara. Dalam hal ini, hakim berangkat dari ajaran keadilan restoratif yang memungkinkan hakim untuk memprioritaskan penyelesaian konflik yang dapat memuaskan para pihak yang berselisih. Dengan demikian, pencabutan laporan atas delik aduan tetap dapat dilakukan tanpa batas waktu tertentu. 

Ketentuan pidana atas KDRT sendiri diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Pada Pasal 1 angka 1 UU PKDRT dijelaskan bahwa KDRT adalah: "Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga".

Berbagai bentuk kekerasan yang dikategorikan sebagai KDRT menurut Pasal 5 UU PKDRT terdiri atas:

- Kerasan fisik;

- Kekerasan psikis;

- Kekerasan seksual; dan

- Penelantaran rumah tangga.

 

Ketentuan mengenai KDRT lebih lanjut diatur dalam:

Pasal 44

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).


Pasal 45

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Seluruh ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan delik biasa, kecuali Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) UU PKDRT yang dikategorikan sebagai delik aduan.

Apabila ketentuan-ketentuan di atas dibaca secara komprehensif, maka pencabutan laporan dengan tujuan untuk menghentikan proses hukum hanya dapat dilakukan apabila kekerasan fisik atau psikis yang dialami korban tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Terdapat kemungkinan bahwa pencabutan laporan tersebut dapat diterima, sekalipun 3 bulan telah berlalu sejak pengaduan dilakukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pledoi / Nota Pembelaan atas Dakwaan Pasal 374 KUHP

CONTOH MEMORI BANDING

Contoh Eksepsi & Jawaban Tergugat